Senin, 01 Juli 2013

AQIDAH MUSLIM

MANUSIA BISA
MEMILIH KETAATAN DAN
KEMAKSIATAN, BUKAN KARENA
TAKDIR SEMATA - Sebagian orang
ada yang beralasan dengan takdir
ketika berbuat maksiat atau dosa.
Seorang pencuri, perampok atau
peminum minuman keras, bisa jadi
akan mengatakan, "Habis mau
bagaimana, memang sudah dari
sananya," maksudnya sudah
ditetapkan olah Allah subhanahu
wata’ala. Ada kalanya mereka
mengatakan demikian karena untuk
menenangkan atau menghibur diri.
Bahkan ada yang mengaku bahwa itu
adalah bagian dari keimanan terhadap
qadha' dan qadar. Yakni qadar Allah
yang baik dan yang buruk yang manis
maupun yang pahit, semuanya dari
Allah. Sehingga dengan alasan itu
seakan-akan mereka terbebas dari
kesalahan dan tuntutan dosa, karena
apa yang dia lakukan berupa
kemaksiatan adalah berasal dari
ketetapan Allah juga. Benarkah
demikian?
Pada dasarnya memang segala
sesuatu adalah ciptaan Allah
subhanahu wata’ala, apa yang Dia
kehendaki pasti terjadi dan apa yang
tidak Dia kehendaki maka tidak akan
terjadi. Hanya Allah sendirilah yang
bukan makhluk, baik Dzat maupun
sifat-sifat-Nya, sedangkan selain
Dia adalah makhluk, Dialah Al- Khaliq.
Dan di antara makhluk Allah
subhanahu wata’alaadalah kebaikan
dan keburukan, segala yang baik dan
segala yang buruk. Makhluk ciptaan
Allah yang baik misalnya malaikat dan
para nabi, dan makhluk Allah yang
buruk misalnya Iblis dan para
penentang rasul seperti Abu Lahab,
Abu Jahal dan orang yang semisalnya.
Namun harus diingat bahwa Allah
subhanahu wata’alamenjadikan
manusia ini bukan seperti robot yang
tergantung operator. Bukan pula
seperti batu dan pohon.
Manusia adalah makhluk mukallaf yang
diberi kemampuan dapat membedakan
yang baik dan buruk serta kemampuan
memilihnya, sebagaimana firman-Nya,
artinya,
“Dia menguji siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya.” (QS.Hud:7)
Dan di dalam firman-Nya yang lain,
artinya,
“Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. 67:2)
Juga di dalam ayat lain,
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah
dan larangan), karena itu Kami
jadikan dia mendengar dan
melihat.” (QS. 76:2)
Faktor yang memotivasi kebaikan
adalah: pertama; Fithrah (naluri asli
manusia yang condong kepada
kebaikan).
Ke dua; Akal yang mampu membedakan
dan menganalisa, dan yang
ke tiga; Wahyu Allah yang diberikan
kepada rasul dan telah disampaikan
kepada manusia. Sedangkan yang
memotivasi kejahatan adalah syetan,
yang didukung dengan keinginan-
keinginan nafsu manusia, dan nafsu
inilah yang biasa dimanfaatkan oleh
setan.
Allah subhanahu wata’ala telah
memberikan kemampuan kepada setan
untuk mempengaruhi manusia, namun
manusia juga diberi senjata untuk
menghadapinya, yaitu petunjuk jalan
dan perlindungan bagi siapa saja yang
berlindung kepada-Nya. Terserah
manusia akan menggunakan senjata
tersebut atau tidak. Allah subhanahu
wata’ala telah memerintahkan
manusia untuk berlindung kepada-Nya
dari kejahatan setan.
Dia berfirman, artinya,
“Katakanlah, "Aku berlindung kepada
Rabb manusia". Raja manusia.
Sembahan manusia, dari kejahatan
(bisikan) syaitan yang biasa
bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari jin dan manusia.” (QS. 114:1-6)
Allah subhanahu wata’ala adalah
hakim yang Maha Adil. Dia mempunyai
hujjah-hujjah yang nyata atas
hamba-hamba Nya. Dia menjadikan
faktor pendorong kebaikan lebih
banyak daripada faktor pendorong
kejahatan, dan Dia menjelas kan dua
jalan ini melalui firman-Nya, artinya,
"Dan kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan." (QS.Al
Balad:10)
Setelah itu manusia mengambil jalan
yang dia kehendaki berdasarkan
pilihannya. Maka siapa saja yang
menempuh jalan kebaikan, menuruti
faktor pendorong kebaikan, mengalah
kan faktor pendorong keburukan,
maka dia berhak mendapatkan
ganjaran pahala. Dan barang siapa
yang memilih jalan keburukan,
mengikuti faktor pendorong
keburukan, maka dia berhak
mendapatkan siksa.
Keseluruhan perbuatannya itu terjadi
atas kemauan dan pilihan manusia
sendiri. Dia merasakan dengan
kesadaran yang sepenuhnya, bahwa
dia tidak dipaksa untuk
melakukannya. Dan jika dia mau, maka
ia tidak berbuat yang demikian itu.
Semua ini dapat dimengerti secara
sempurna dan dirasakan oleh setiap
insan, dan juga telah dinyatakan oleh
dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah
yang suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon dukungan komentarnya ya