Rabu, 05 Juni 2013

Sholat tahiyatul masjid

DIBALIK HIKMAH
SHALAT TAHIYATUL MASJID -
Melaksanakan tahiyatul masjid
merupakan bentuk pemuliaan
terhadap masjid sebagai baitullah
(rumah Allah). Kedudukannya
seperti mengucapkan salam saat
memasuki rumah atau seperti
mengucapkan salam saat bertemu
saudara seiman. Imam Nawawi
rahimahullaah berkata, “Sebagian
mereka (ulama) mengungkapkannya
dengan Tahiyyah Rabbil Masjid
(menghormati Rabb -Tuhan yang
disembah dalam- masjid), karena
maksud dari shalat tersebut
sebagai kegiatan taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah,
bukan kepada masjidnya, karena
orang yang memasuki rumah raja,
ia akan menghormat kepada raja
bukan kepada rumahnya.” (Lihat:
Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)
Ketika seseorang memasuki masjid,
janganlah ia duduk sehingga
melaksanakan shalat dua rakaat
yang disebut dengan tahiyatul
masjid. Dari Abu Qatadah
radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
ﺍَﺫِﺇ َﻞَﺧَﺩ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ َﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻠَﻓ
ْﺲِﻠْﺠَﻳ ﻰَّﺘَﺣ َﻲِّﻠَﺼُﻳ ِﻦْﻴَﺘَﻌْﻛَﺭ
“Jika salah seorang kalian masuk
masjid, maka janganlah duduk
sebelum mengerjakan shalat dua
rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuan dari pelaksanaan shalat dua
rakaat ini adalah untuk
menghormati masjid. Karena masjid
memiliki kehormatan dan kedudukan
mulia yang harus dijaga oleh orang
yang memasukinya. Yaitu dengan
tidak duduk sehingga melaksanakan
shalat tahiyatul masjid ini. Karena
pentingnya shalat ini, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tetap
memerintahkan seorang
sahabatnya - Sulaik al-
Ghaathafani - yang langsung
duduk shalat memasuki masjid
untuk mendengarkan khutbah dari
lisannya. Ya, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidak membiarkannya
duduk walaupun untuk
mendengarkan khutbah dari
lisannya, maka selayaknya kita
memperhatikan shalat ini.
Begitu juga Jabir radhiyallahu
'anhu, saat ia datang ke masjid
untuk mengambil harga untanya
yang dijualnya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, maka
beliau memerintahkannya untuk
shalat dua rakaat. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari
hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu,
dia pernah masuk masjid, lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya padanya, “Apakah kamu
sudah shalat dua rakaat?” Dia
menjawab, “Belum.” Beliau bersabda,
“Bangunlah, laksanakan dua
rakaat!”
Maka berdasarkan dalil-dalil
tersebut di atas, seluruh ulama
sepakat tentang disyariatkannya
shalat tahiyatul masjid (Fathul
Baari: 2/407). Bahkan
sebagiannya -khususnya dari
madzhab Dzahiriyah- berpendapat
wajib dengan berpatokan pada
dzahir hadits. Sedangkan jumhur
ulama berpendapat sunnah,
berdasarkan beberapa hadits lain
yang memalingkannya kepada
anjuran. Di antaranya, hadits
tentang shalat lima waktu, maka
ada seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, “Apakah aku punya
kewajiban selainnya?” Beliau
menjawab, “Tidak, kecuali bila
engkau mengerjakan yang
sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
( Siapa yang dikecualikan dari
perintah ini? )
Ada beberapa orang yang
dikecualikan dari perintah shalat
tahiyatul masjid, yaitu:
- Khatib Jum’at, apabila dia masuk
masjid untuk khutbah Jum’at, tidak
disunnahkan shalat dua rakaat.
Tapi dia langsung berdiri di atas
mimbar, mengucapkan salam lalu
duduk untuk mendengarkan adzan,
kemudian baru menyampaikan
khutbah.
- Pengurus masjid yang berulang-
kali keluar masuk masjid. Kalau ia
melaksanakan shalat tahiyatul
masjid setiap masuk masjid, maka
sangat memberatkan baginya.
- Orang yang memasuki masjid
saat imam sudah mulai memimpin
shalat berjama’ah atau saat
iqamah dikumandangkan, maka ia
bergabung bersama imam
melaksanakan shalat berjama’ah.
Karena shalat fardhu telah
mencukupi dari melaksanakan
tahiyatul masjid. (Lihat Subulus
Salam, Imam al-Shan’ani: 1/320)
( Di Akhri Zaman Tahiyatul Masjid
Diremehkan )
Syaikh Yusuf bin Abdullah bin
Yusuf al-Wabil dalam kitabnya
Asyratus Sa’ah menyebutkan
bahwa salah satu tanda dekatnya
hari kiamat adalah munculnya sikap
meremehkan sunnah-sunnah yang
dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Salah
satunya adalah tidak
melaksanakan tahiyatul masjid
saat memasukinya, sebagaimana
yang disinyalir dalam sebuah
hadits, dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku
Mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
َّﻥِﺇ ْﻦِﻣ ِﻁﺍَﺮْﺷَﺃ ِﺔَﻋﺎَّﺴﻟﺍ ْﻥَﺃ َّﺮُﻤَﻳ
ُﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ﻲِﻓ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻟ ﻲِّﻠَﺼُﻳ ِﻪْﻴِﻓ
ِﻦْﻴَﺘَﻌْﻛَﺭ
“Sesungguhnya di antara tanda-
tanda dekatnya kiamat adalah
seseorang melalui (masuk) masjid,
namun tidak melakukan shalat dua
rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dalam Shahihnya.
Syaikh Al-Albani memasukkan
hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits
al Shahihah: 2/253 no. 649
dengan memberikan catatan kaki di
bawahnya bahwa dalam sanadnya
ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur
lain dari Ibnu Mas’ud yang
memperkuat sanadnya).
Dan dalam riwayat lain disebutkan;
َﺯﺎَﺘْﺠَﻳ ْﻥَﺃ ُﻞُﺟَّﺮﻟﺍ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺎِﺑ ﺎَﻠَﻓ
ﻲِّﻠَﺼُﻳ ِﻪْﻴِﻓ
“Orang melalui masjid tapi tidak
melakukan shalat di
dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan
dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam
Majma’uz Zawaid: 7/329)
Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
'anhu, ia berkata,
َّﻥِﺇ ْﻦِﻣ ِﻁﺍَﺮْﺷَﺃ ِﺔَﻋﺎَّﺴﻟﺍ ْﻥَﺃ َﺬَﺨَّﺘُﺗ
ُﺪِﺟﺎَﺴَﻤﻟﺍ ﺎًﻗُﺮُﻃ
“Sesungguhnya di antara tanda-
tanda dekatnya kiamat adalah
masjid dijadikan sebagai jalan
(tempat berlalu lalang).” (HR.
Musnad al-Thayalisi dan Al-
Mustadrak al-Hakim. Shahih Al-
Jami’ no. 5899)
Bahkan secara jelas Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
melarang menjadikan masjid
sebagai tempat lalu lalang tanpa
ditegakkan shalat tahiyatul masjid
ketika memasukinya.
ﺎَﻟ ﺍﻭُﺬِﺨَّﺘَﺗ َﺪِﺟﺎَﺴَﻤﻟﺍ ﺎًﻗُﺮُﻃ ،
ٍﺮْﻛِﺬِﻟ ﺎَّﻟِﺇ ْﻭَﺃ ٍﺓﺎَﻠَﺻ
“Janganlah kalian jadikan masjid
sebagai jalan (tempat lewat),
kecuali untuk berdzikir atau
shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-
Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-
Ausath: 1/14. “Sanad ini hasan,
seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat
(terpercaya).” Lihat: Silsilah
Shahihah no. 1001)
Sedangkan maksud menjadikan
masjid sebagai jalan adalah dengan
menjadikannya sebagai tempat
lewat atau berlalunya manusia
untuk memenuhi hajat mereka.
Masuk dari satu pintu masjid dan
keluar dari pintu lainnya tanpa
melaksanakan shalat di dalamnya.
Sedangkan orang yang masuk
masjid dan shalat di dalamnya tidak
dikategorikan sebagai orang yang
menjadikan masjid sebagai tempat
lalu lalang yang dilarang.
Al-Hasan al-Bashri ternah
ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau
ada seseorang lewat di dalam
masjid lalu tidak shalat di
dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti
(saya benci).” (Lihat al-Mushannaf
milik Abdul Razaq: 3/154-158)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon dukungan komentarnya ya