Jumat, 01 Februari 2013

renungan harian kehidupan

( RENUNGAN KUNCI ) WAKTU
ASSET PALING BERHARGA DALAM
KEHIDUPAN - Betapa banyak waktu
yang telah kita buang percuma.
Mungkin satu atau dua jam waktu
luang yang terbuang dalam sehari
tidak akan kita rasakan dampak
negatifnya. Namun jika dikumpulkan
dalam setahun atau bahkan dalam
seumur hidup, akan sangat terasa,
betapa kita telah melalui banyak
momen dengan hal yang tidak
berguna. Waktu-waktu itu begitu
cepat berlalu dan tak dapat kembali
lagi. Sedetikpun ia tak mau. Pada
akhirnya semua itu membuahkan
penyesalan yang berkepanjangan.
Kita hanya membawa amal yang
sedikit kehadapan-Nya.
Seorang ulama shalih bernama
Taubah bin ash-Shimmah biasa
mengintrospeksi dirinya sendiri.
Suatu hari dia menghitung-hitung,
selagi sudah berumur enam puluh
tahun. Dia menghitung-hitung hari-
hari yang pernah dilewatinya, yaitu
sebanyak sebelas ribu hari lebih
lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia
tersentak dan berkata, “Aduhai
celaka aku! Apakah aku harus
bertemu Allah dengan membawa
sebelas ribu limaratus dosa?”
Setelah itu dia langsung pingsan dan
seketika itu pula dia meninggal
dunia. Pada saat itu orang-orang
mendengar suara, “Dia sedang
meniti ke surga Firdaus.” (Lihat
Kitab Mukhtashar Minhajul
Qashidin)
Sebagian orang terlalu banyak
berharap dengan amal yang sedikit,
mudah-mudahan dapat masuk surga.
Mereka mengacu pada hadits qudsi
yang berbunyi, “Aku berada dalam
sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.
Karena itu hendaklah dia menyangka
terhadap-Ku menurut kehendaknya.”
Mengomentari hadits ini, Imam Ibnu
al-Qayyim dalam kitabnya, ad-Daa’
wad-Dawaa, mengemukakan, memang
Allah akan melaksanakan sangkaan
hambanya. Namun tidak dapat
diragukan bahwa baik sangka hanya
terjadi jika ada kebaikan. Orang
yang berbuat kebaikan adalah orang
yang berbaik sangka kepada Allah,
bahwa Dia akan membalas
kebaikannya dan tidak akan
mengingkari janji-Nya serta akan
menerima taubatnya.
Bagi mereka yang menyadari sangat
dekatnya kematian, niscaya akan
sangat menghargai waktu. Waktu
kita yang berlalu dengan sia-sia,
hendaklah menjadi cambuk, agar
kelak, dikemudian hari, tidak
melakukan hal yang serupa. Kita
bertekad kuat untuk mengisi hari-
hari dengan amal yang berkualitas
guna memperoleh pahala dan
ganjaran yang abadi. Bagi seorang
yang kaya harta, maka ia akan
berusaha untuk mewakafkan
kekayaannya dan mendarmabaktikan
dirinya untuk dakwah dan jihad fi
sabilillah. Sedangkan bagi seorang
penulis, ia akan menulis buku yang
bisa dibaca oleh setiap orang
setelahnya dan senantiasa beramal
dengan pelbagai kebaikan. Dari
karya-karyanya, banyak orang yang
dapat mengikuti jejak amalnya.
Itulah manusia yang tidak pernah
mati. Betapa banyaknya manusia
yang mati, namun pada hakikatnya
mereka selalu hidup.
Ulama-ulama besar seperti Imam al-
Ghazali, Imam Ibnu al-Jauzy, Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan al-
Banna karena ilmu yang mereka
miliki, ketekunan mereka dalam
beribadah, keluhuran akhlak mereka
dan penghargaan mereka terhadap
waktu. kewajiban yang ada lebih
banyak daripada waktu yang
tersedia. Pernyataan ini bukan
pernyataan yang main-main,
melainkan sebuah pernyataan yang
keluar dari mulut seorang insan
yang “bergelut” dengan waktunya
dan sadar akan pentingnya waktu.
Roger Garaudy sangat mengagumi
ilmu yang dimiliki para ulama Islam,
yang sangat banyak itu, yang tidak
dimiliki ilmuwan-ilmuwan Barat.
Kekagumannya itu membuatnya masuk
Islam. Ya, ini sungguh luar biasa.
Siapapun orangnya, yang tentu saja
masih berakal sehat, pasti akan
menyadari hal ini. Bagaimana
mereka menguasai banyak ilmu
pengetahuan dalam usia mereka
yang tergolong pendek? Inilah
pertanyaan yang mesti di jawab di
sini.
Sedetik pun waktu tidak pernah
mereka sia-siakan. Kalaupun ada
waktu yang terbuang percuma,
mereka akan menyesal dan berusaha
dikemudian hari hal itu tidak
terulang lagi. Setiap hari, mereka
melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat untuk jiwa, raga, dan
pikiran mereka. Ada seorang ulama
yang menunggu kedatangan gurunya
dalam sebuah majelis, lantas
kemudian ia isi waktu luang itu
dengan shalat sunah.
Imam Ibnu al-Jauzy pernah
kedatangan tamu yang
membicarakan hal-hal yang tak
berguna. Dia meladeni mereka
sembari menyerut pensil untuk
menulis buku. Siang dan malam
beliau tidak henti-hentinya berpikir,
menulis, mengajar dan membaca.
Imam Ibnu al-Jauzy pernah berkata,
“Dari tanganku lahir dua ribu jilid
buku dan di tanganku juga telah
bertaubat seratus ribu orang, dua
puluh ribu orang di antaranya
masuk Islam.” Di antara karya-
karyanya, Durratul Ikliil 4 jilid,
Fadhail al-Arab, al-Amstaal, al-
Manfaat fi Madzahib al-Arba’ah 2
jilid, al-Mukhtar min al-Asy’ar 10
jilid, at-Tabshirah 3 jilid, Ru’us al-
Qawariir 2 jilid, Shaidul Khathir,
Kitab al-Luqat (ilmu kedokteran) 2
jilid, dan sebagainya.
Imam Ibnu Taimiyah adalah seorang
ulama yang waktunya tidak pernah
luput dari berbuat kebaikan. Hingga
dipenjara sekalipun, ia tetap
berusaha menulis, berceramah
kepada para napi, dan lain
sebagainya. Beliau pernah berkata,
“Apakah yang akan diperbuat
musuh-musuh terhadapku? Jika aku
dipenjara, penjaraku adalah
khalwah. Jika aku diasingkan,
pengasinganku adalah tamasya. Dan
jika aku dibunuh, kematianku adalah
syahadah.” Sekalipun pena-penanya
disingkirkan oleh pemerintah tirani,
dia tetap saja menulis walaupun
dengan arang.
Jika diberi umur yang panjang,
niscaya mereka akan terus menuntut
ilmu sebanyak-banyaknya. Namun
kenyataan tidaklah terjadi demikian.
Karena ilmu di dunia ini sangatlah
banyak dan tak mungkin umur
manusia yang pendek, dapat
menguasai semuanya, para ulama
akhirnya membuat pengurutan ilmu-
ilmu apa saja yang “wajib” dikuasai
oleh kaum muslimin. Imam Ibnu
Qudamah dalam bukunya berjudul
Mukhtashar Minhajul Qashidin
mengomentari hadits yang berbunyi,
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap
orang muslim,” dengan mengatakan
bahwa yang dimaksud ilmu wajib di
sini adalah ilmu muamalah hamba
terhadap Tuhannya. Muamalah yang
dibebankan di sini meliputi tiga
macam: Keyakinan dan keimanan
kepada Allah SWT, perbuatan amal
shaleh dan apa yang harus
ditinggalkan karena dilarang
Syariat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon dukungan komentarnya ya