Jumat, 26 April 2013

Kisah DAN cermati

DUA SUPIR TAKSI -
Saya mendekati taksi biru itu.
Sebenarnya saya ragu, karena
Kramat Raya bukan jarak yang
jauh dari Cempaka Emas, tempat
saya berdiri sekarang ini. Paling
10-15 menit sudah sampai. Jarak
sedekat itu tentu tidak sebanding
dengan lamanya sopir taksi
tersebut mangkal di tempat ini.
Oleh karenanya, saya sudah
bersiap untuk tidak kecewa. Saya
buka pintu belakang taksi itu.
"Kramat Raya, Pak?" tanya saya
setengah ragu. "Mari, Pak!" kata
sopir taksi itu mengiyakan, tanpa
berpikir sejenakpun. Tentu saja
saya gembira, karena tidak
menyangka lelaki itu bakal mau
mengantar.
Saya segera naik ke jok belakang,
menutup pintu. Taksi pun melaju.
Sebentar kemudian berputar 180
derajat di perempatan Cempaka
Putih. Sekarang melaju ke arah
Senen.
"Kok Bapak mau ke Kramat? Kan
jaraknya dekat aja, Pak?" tanya
saya
memancing.
"Kita kan tidak pernah tahu ada
apa di balik yang dekat itu, Pak,"
katanya sejenak kemudian.
Senyumnya saya lihat di spion
atas kepalanya. "Jika penumpang
yang jarak dekat tidak diambil,
rasanya seperti tidak menghargai
Tuhan yang membagi rezeki buat
kita."
Berkata bijak ternyata bukan
hanya monopoli kaum filosof.
Tetapi juga bisa keluar dari mulut
Firmansyah, begitu nama yang
terpampang di dashboard,
seorang sopir taksi bersahaja
yang saya temui pagi ini.
Maka meluncurlah cerita "filosof"
yang sopir taksi itu.
"Saya banyak mengalami, kadang
memang rasanya gimana gitu
ketika sudah lama ngantri,
ternyata dapat penumpang yang
dekat," katanya sembari menarik
napas perlahan. "Dapat lagi, dekat
lagi. Dapat lagi, dekat lagi."
Saya cuma tersenyum. Tentu saja
saya bisa merasakan "duka" itu.
Seperti kita mengharapkan durian
runtuh, tetapi apa daya jika
kenari yang ternyata melayang
jatuh.
"Tetapi, tak jarang," imbuh lelaki
itu, "saya dapat yang dekat-
dekat, tetapi berkali-kali. Juga
pernah sekalinya dapat yang jauh,
tetapi setelah itu baliknya tidak
membawa penumpang sama
sekali."
Ia tersenyum di tengah klakson
jembatan layang menuju
Kemayoran.
Saya mengangguk-angguk.
"Yah, artinya lebih baik terima
saja yang masuk ke taksi, entah
jurusan dekat ataupun jauh," kata
saya. "Karena kita tidak pernah
tahu, setelah itu dapat rezeki
dalam bentuk apa lagi."
***
Beberapa hari berikutnya, saya
menumpang taksi dari tempat dan
dengan tujuan yang sama. Kali ini
Bluebird, langganan saya.
"Kok Bapak mau mengantar
penumpang dengan tujuan yang
dekat seperti saya?" tanya saya
memancing. Taksi sedang melaju
ke arah Senen. Saya mencomot
roti sarapan pagi dengan sekotak
minuman dingin.
Ia tertawa.
"Jangankan Kramat Raya, Pak,"
katanya bersemangat, "bahkan
saya pernah mengantar orang
dari Cempaka Emas ke Ruko
Cempaka Emas!"
"O, ya?" sergah saya heran.
Jarak itu tak lebih dari
selemparan lembing atau sebidikan
panah. "Argo Bapak bahkan
mungkin tidak sempat bergerak
dari angka awal lima ribu perak,
dong?"
"Yah, waktu itu sedang macet sih.
Sempat nyampai enam ribu
rupiah."
Saya mengangguk-angguk. Saya
berandai-andai. Lima belas persen
dari enam ribu tak lebih dari seribu
rupiah. Itu yang dia dapat untuk
mengantar penumpang sedekat
itu, buah dari mengantri di pool
mungkin setengah hari.
"Belum lagi ketika kembali ke pool,
ternyata sudah penuh," katanya
menerawang. "Harus berputar dulu
tiga-empat kali untuk dapat
antrian lagi."
"Wah, susah juga, ya Pak?" timpal
saya. Sudah dapat yang sangat
dekat, kembali ke pool antri di
paling belakang lagi. Itu pun
setelah muter lebih dulu.
"Ya. Bahkan saya pernah, sudah
mengantri di belakang, diserobot
teman lagi," katanya enteng,
bahkan cenderung riang. "Saya
sih pasrah saja. Tidak lama,
teman saya mendapat penumpang
dengan tujuan Patra Jasa.
Sebentar kemudian, seorang
penumpang mengetok pintu mobil
saya. Cikarang, Pak? Tentu saja
saya ambil karena jaraknya jauh,
berlipat-lipat dibandingkan Patra
Jasa."
Saya ikut tersenyum mendengar
ceritanya. "Itu semua buah dari
keikhlasan, Pak."
"Alhamdulillah, saya nggak pernah
menolak penumpang sedekat
apapun tujuan mereka. Saya yakin,
Allah memberikan rezeki saya
dengan cara yang demikian.
Kadang sedikit, kadang banyak.
Saya tidak pilih-pilih."
Demikianlah Pak Endang, begitu
namanya terpampang di
dashboard, menyimpulkan. Sebuah
kesimpulan sederhana yang tidak
sesederhana maknanya.
***
Saya banyak belajar dari kedua
orang itu, Pak Firmansyah dan
Pak Endang; sopir-sopir taksi
yang sederhana. Mereka masih
"menghargai Tuhan", begitu
bahasa mereka. Caranya sungguh
sangat sederhana: mengantarkan
penumpang yang naik taksi
mereka, meski dekat sekalipun
jaraknya. Menolak penumpang,
sama saja dengan menolak rezeki
yang sudah Allah hidangkan di
hadapan. Menolak penumpang,
sama halnya tidak menghargai
Sang Pembagi Rezeki. Karenanya,
tidak ada yang sepatutnya harus
dilakukan, bagi mereka, kecuali
ikhlas mengantar.
Terbukti dalam berbagai
kesempatan mengantar
penumpang yang dekat itu,
ternyata sambung-menyambung
dengan penumpang yang turun
naik; begitu satu penumpang
turun, ada yang langsung naik.
Bahkan tak jarang, banyak
penumpang jarak dekat yang
memberikan "uang lebih" berkat
kesediaan mereka mengantar
tanpa mengeluh. Jumlahnya
sering lebih banyak ketimbang
persentase yang mereka terima
dari mengantar penumpang jarak
jauh. Jarak dekat, karenanya
tidak lantas identik dengan rezeki
cekak.
Sungguh sebuah sikap hidup yang,
kata orang Jawa, sumarah.
Pasrah, tetapi bukan layaknya
wayang. Dalam bahasa agama,
barangkali inilah pengejawantahan
sikap tawakal setelah berazam.
Bukan sikap pasrah yang salah-
kaprah; yang sering salah
dipahami sebagai "pulung sugih
pulung mlarat". Kalau Tuhan
menakdirkan kita kaya, tanpa
berusaha pun, kita akan kaya.
Kalau ditakdir miskin, bekerja
keras peras-keringat-banting-
tulang sekalipun ibaratnya, tetap
akan miskin.
Saya lantas teringat dengan
sebuah hadits, bahwa Allah itu
tergantung pada persangkaaan
(dzon) hamba pada-Nya. Kedua
lelaki di atas, dalam pandangan
saya, telah memberikan
persangkaan yang baik pada
rencana Tuhan di balik penumpang
yang dekat itu. Ketika sopir yang
lain menyangka "rugi" ketika
harus mengantar penumpang
yang dekat, keduanya tidak
pernah berprasangka demikian.
Boleh jadi keduanya tidak hapal
dengan ayat Al-Qur'an tentang
rezeki yang min haitsu laa
yahtasib. Tetapi saya yakin,
keduanya, juga kita, paham bahwa
rezeki itu datangnya bisa tidak
disangka-sangka. Tetapi
sementara kedua sopir di atas
sudah mempraktekkan pemahaman
itu di kehidupan keseharian, kita
sendiri barangkali masih berkutat
pada tataran teori.
Jika Nabi Musa pernah belajar
kepada Khidir, kita yang bukan
siapa-siapa ini tak ada salahnya
belajar pada orang-orang
sederhana seperti kedua sopir
taksi di atas. Benar juga sebuah
tulisan yang say a baca
terpampang di sebuah Sekolah
Merdeka di tepi Ranu Klakah
Lumajang, dan selalu terpatri
dalam ingatan saya hingga kini:
jika semua tempat adalah sekolah,
maka setiap orang adalah guru.
Dan Pak Firmansyah serta Pak
Endang, adalah guru saya hari ini.
Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab.
Bahtiar HS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon dukungan komentarnya ya